Nasib Ribuan Petani Tembakau

Ribuan petani tembakau berencana menggelar aksi demo ke beberapa lembaga penting di Jakarta. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) No 36 Tahun 2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Aksi ini merupakan kali kesekian dari para petani karena mereka merasa akan kehilangan sumber penghasilan yang telah digeluti puluhan tahun. Mereka tentu kebingungan karena komoditi lain belum tentu menjanjikan.

Keadaan itu memang sebuah dilema. Di satu sisi industri rokok telah memberikan sumbangan besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan cukai, tetapi di sisi lain kesehatan masyarakat juga harus ditingkatkan. Sudah cukup banyak bukti, bahwa merokok sangat menganggu kesehatan. Tidak sedikit di antara perokok menderita gangguan paru-paru, bahkan mengidap kanker. Tetapi fakta juga menunjukkan, ribuan petani sangat bergantung pada komoditi ini. Maka, wajar saja mereka menolak RPP itu tanpa syarat.

Masih adakah jalan kompromi yang bisa ditempuh ? Mungkin saja. Desakan dari berbagai pihak yang meminta agar tembakau termasuk zat adiktif yang menganggu kesehatan tak bisa dipungkiri. Faktanya memang seperti itu. Tetapi, mungkinkah RPP itu ditunda dulu agar para petani mempunyai waktu yang cukup untuk mengalihkan ke komoditi yang lain. Setidaknya telah diketahui, para petani sudah sekian lama akrab dengan budi daya tembakau. Mereka telah hafal benar tata cara produksi, sehingga tidak mudah mengalihkan.
Di sisi lain pemerintah sendiri tampaknya juga tidak siap untuk ”membawa” petani tembakau beralih ke komoditi lain. Rasanya pemerintah belum berbuat banyak untuk program pengalihan perhatian komoditi, meski sebagian dari cukai telah didistribusikan kembali ke daerah. Dana cukai ini telah terlalu cukup untuk dengan segera mengalihkan minat petani dari tembakau. Apalagi fakta-fakta di daerah juga terungkap, penggunaan dana cukai tersebut belum terarah benar. Dengan penundaan RPP diharapkan petani punya waktu cukup menyesuaikan diri.

Sangat perlu diteliti tanaman apa yang cocok, selain tembakau untuk daerah seperti Temanggung, Klaten, Boyolali dan Magelang. Mungkinkah para petani itu beralih ke komoditi kopi misalnya. Tetapi, kita juga mesti tahu bahwa kopi termasuk tanaman tahunan yang tidak bisa langsung berbuah dan dipanen dalam kurun satu dua tahun sejak ditanam. Sementara itu, tembakau yang berumur hanya beberapa bulan, dan budi dayanya tidak terlalu sulit, dengan cepat bisa menghasilkan uang. Ini sekadar contoh untuk membandingkan dua jenis komoditi itu.

Pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten perlu rasanya untuk duduk bersama mendiskusikan jalan keluar yang paling baik. Jangan sampai terjadi, pemerintah pusat membuat peraturan tetapi justru daerah yang selalu menderita karena terimbas dampak negatifnya. Pemerintah kabupatenlah yang selama ini berada dalam kesulitan karena ketidakmampuan menyediakan lapangan kerja seandainya para petani tembakau itu ”menganggur”. Bagaimana juga dengan ribuan karyawan yang sudah bertahun-tahun hidup dari industri rokok ?
http://suaramerdeka.com

. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Tinggalkan Komentar