http://www.pikiran-rakyat.com
Rabu, 03 Maret 2010 , 05:49:00
Rabu, 03 Maret 2010 , 05:49:00
BANDUNG, (PRLM).- Pemerintah harus memiliki lembaga riset pasar dan perdagangan. Lembaga itu berfungsi untuk meningkatkan dan memperkuat aspek pemasaran bagi produk Indonesia. Apalagi, minimnya kemampuan pemasaran mayoritas pelaku usaha kerap jadi penyebab rendahnya nilai tambah yang didapat pengusaha.
Pengamat Ekonomi Acuaviarta Kartabi mengungkapkan kelemahan pemasaran telah menjadi persoalan sejak lama. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya produk Indonesia, terutama hasil usaha kecil dan menengah (UKM), yang justru perantara pedagangnya (broker) adalah pihak asing.
”Ini sudah lama menjadi persoalan. Akan tetapi, hingga saat ini tak juga terselesaikan. Daripada pemerintah menggelontorkan dana ratusan miliar untuk program yang belum tentu tepat sasaran. Lebih baik membangun jaringan pemasaran,” ujarnya.
Jaringan pemasaran, menurut dia, digerakkan oleh lembaga riset pasar dan perdagangan itu. Oleh karena itu, lembaga riset berisikan ahli marketing, negosiasi, ekspor impor, perjanjian perdagangan internasional, dan quality control.
Acu memperkirakan apabila kelemahan di aspek pemasaran ini diatasi, nilai tambah yang diterima pelaku usaha akan mengalami peningkatan 50 persen.
Hal senada diungkapkan Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Barat yang juga Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jabar, Yusuv Suhyar. Menurut dia, pelaku usaha kecil menengah Jabar harus memperkuat kemampuannya di bidang pemasaran. Kelemahan di aspek itu merupakan satu faktor yang menghambat kemajuan usaha. Padahal, produk UKM Jabar potensial merebut pasar internasional.
”Kita harus belajar dari Singapura. Mereka tidak memiliki hasil alam. Akan tetapi, kemampuannya di perdagangan harus diakui. Inilah yang harus kita pelajari. Meningkatkan akses pasar dan memaksimalkan kemampuan,” ucapnya. (A-188/A-147)***
Pengamat Ekonomi Acuaviarta Kartabi mengungkapkan kelemahan pemasaran telah menjadi persoalan sejak lama. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya produk Indonesia, terutama hasil usaha kecil dan menengah (UKM), yang justru perantara pedagangnya (broker) adalah pihak asing.
”Ini sudah lama menjadi persoalan. Akan tetapi, hingga saat ini tak juga terselesaikan. Daripada pemerintah menggelontorkan dana ratusan miliar untuk program yang belum tentu tepat sasaran. Lebih baik membangun jaringan pemasaran,” ujarnya.
Jaringan pemasaran, menurut dia, digerakkan oleh lembaga riset pasar dan perdagangan itu. Oleh karena itu, lembaga riset berisikan ahli marketing, negosiasi, ekspor impor, perjanjian perdagangan internasional, dan quality control.
Acu memperkirakan apabila kelemahan di aspek pemasaran ini diatasi, nilai tambah yang diterima pelaku usaha akan mengalami peningkatan 50 persen.
Hal senada diungkapkan Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Barat yang juga Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jabar, Yusuv Suhyar. Menurut dia, pelaku usaha kecil menengah Jabar harus memperkuat kemampuannya di bidang pemasaran. Kelemahan di aspek itu merupakan satu faktor yang menghambat kemajuan usaha. Padahal, produk UKM Jabar potensial merebut pasar internasional.
”Kita harus belajar dari Singapura. Mereka tidak memiliki hasil alam. Akan tetapi, kemampuannya di perdagangan harus diakui. Inilah yang harus kita pelajari. Meningkatkan akses pasar dan memaksimalkan kemampuan,” ucapnya. (A-188/A-147)***